Apa itu Sosiologi?

6:23 AM Edit This 0 Comments »
Sociology is about perspective


Belajar sosiologi itu sebenarnya adalah belajar untuk berfikir secara beyond common sense.

Common sense --> PRESPEKTIF --> beyond common sense

jadi sebenarnya cara berfikir kita sebelum mengenal prespektif sosiologis, dalam melihat fenomena pasti kita berfikir secara common sense . Commonsense= pikiran “sehat” yang “bias” (karena diganggu oleh: kepentingan, sistem nilai, kepercayaan, tradisi dsb.)


Sosiologi memandang feomena sosial secara berbeda :
Seeing the general in the particular:

Individu pada derajat tertentu memiliki “keseragamaan” karena dibentuk oleh masyarakat (melalui kelas sosial, pendidikan, agama, suku dsb.)

Seeing Personal choice in social context:

Jumlah anak ditentukan oleh siapa?
Mengapa orang bunuh diri?
Mengapa angka bunuh diri berbeda-beda?

Dengan menggunakan 3 prespektif sosiologis,] kita memiliki cara pandang baru secara beyond commonsense, atau menajawab dan melihat fenomena sosial menggunakan sociological imagination.

3 prespektif tersebut adalah :



<3 Prespektif Funsional
Masyarakat pada hakekatnya adalah merupakan suatu system yaitu suatu satuan yang terdiri dari bagian-bagian (sub system) yang saling terkait dan memiliki saling ketergantungan fungsional.
Semua subsistem itu saling berhubungan secara fungsional bukan demi kepentingannya sendiri tetapi demi keberlangsungan hidup dari system (survival of the system).
Masyarakat dianalogikan sebagai suatu mahluk organisme ( “organismic analogy”).
Semua unsur didalam sistem sosial pasti memiliki fungsi, bila tidak unsur itu pasti akan hilang dengan sendirinya atau ditolak oleh sistem.
Tugas sosiologi adalah menjelaskan keterikatan atau hubungan fungsional antara suatu gejala atau suatu unsur di masyarakat dengan unsur lainnya
Dengan analisis sistemik ini sosiologi akan dapat menunjukkan apa yang akan terjadi (dampak) di masyarakat bila suatu gejala dihapuskan. Misalnya sejauhmana menghilangkan pelacuran akan menyebabkan bertambahnya pengangguran, meningkatnya angka perkosaan, pelacuran terselubung dsb.
Ini bukan berarti mencari pembenaran dari gejala itu, tetapi mengidentifikasi sejauhmana gejala itu terkait “secara fungsional” dengan berbagai bidang kehidupan lain dalam masyarakat dan sejauhmana gejala itu telah menyumbang pada kelangsungan hidup system.
Hubungan antar subsistem di masyarakat menciptakan keteraturan sosial (social order) yang sangat kuat, sehingga perubahan di dalam suatu system selalu bersifat evolusioner (tidak revolusioner), karena perlu mengalami proses adaptasi dan penyesuaian secara sistemik.
Proses perkembangan suatu system – seperti halnya pada system biologis - akan mengikuti pola yang sama (unilinear), yaitu berkembang dari fungsi-fungsi yang sederhana menjadi kompleks (terjadi proses diferensiasi structural).
Pada dasarnya suatu sistem sosial selalu berusaha mempertahankan stabilitas. Gejolak didalam sistem sosial (social disorder) memang bisa saja terjadi, tetapi system akan beradaptasi untuk menciptakan suatu keseimbangan baru (equilibrium).
Kalau kerja suatu system biologis dikoordinasikan oleh suatu system syaraf, maka suatu sistem sosial selalu diikat oleh kesepakatan nilai/norma (consensus).



<3 Perspektif Konflik
Masyarakat adalah tempat bertemunya kelompok-kelompok yang memiliki kebutuhan dan kepentingan sendiri (individual self interests) yang harus diperjuangkan. Kelompok yang lebih kuat atau berkuasa punya kesempatan lebih besar dalam membentuk tatanan sosial untuk mempertahankan “status quo”. Perspektif ini melihat keteraturan sosial selalu berada dalam proses “menjadi” (becoming) yakni merupakan hasil dari konflik yang terjadi terus menerus antara kelompok yang berkuasa dengan kelompok lain yang juga ingin memperoleh kekuasaan.


<3 Prespektif Interaksionise simbolik
Pemikiran ini berpijak pada asumsi:
Realitas sosial dibentuk oleh interaksi antar individu di masyarakat (reality is socially constructed).
Setiap individu mampu mendefinisikan situasi, menginterpretasi dan menegosiasikannya dengan lawan interaksinya. Jadi makna sosial merupakan hasil interaksi antara individu sehari-hari, bukan dicetak oleh kekuatan struktur yang telah terbentuk dan mapan, jadi : ”social order is a negotiated order”.
Dalam interaksi sosial, individu saling bernegosiasi dengan menggunakan simbol, terutama bahasa, tetapi juga ekspresi wajah maupun gerakan badan yang bisa mengandung makna.
Manusia memiliki kesadaran dan kemampuan ”self-reflexive”, sehingga bisa berubah karena reaksi lawan interaksinya.
Kedirian (self) manusia memiliki dua dimensi yaitu ”I” (sebagai subyek, atau individu yang khas) dan dimensi ”me” (sebagai obyek atau yang dipengaruhi/dibentuk oleh interaksi).
Interaksi manusia di masyarakat menyerupai suatu ”drama” dimana setiap individu memainkan peran dan menampilkan dirinya dengan terus menerus menjaga kesan lawan interaksinya (”jaga imej”). Ini disebut sebagai impression management.
Seseorang yang gagal menghasilkan imej yang baik bisa mendapat cap (label) dari masyarakat. Misalnya orang yang pernah masuk penjara, seumur hidup dianggap penjahat (labeling theory).
Cara pandang ”symbolic interactionism” ini akan dapat digunakan untuk menganalisis interaksi manusia Indonesia sehari-hari, sehingga dapat melengkapi perspektif fungsional dan konflik yang pada dasarnya bersifat ”strukturalis”.

Sehingga dengan memahami sosiologi, kita dapat mengaplikasikannya:
Untuk membantu para pengambil keputusan atau undang-undang
Untuk pribadi: menambah sensitivitas dan kesadaran
berpikir “beyond commonsense”
Memberdayakan kita untuk berpartisipasi di masyarakat (untuk perubahan)
Bisa melihat kekurangan masyarakat kita dan kelebihan masyarakat lain :)

0 comments: